|
KH. Hasyim Asy'ari, Pendiri NU |
“Ketika
Pangeran Diponegoro ditangkap dan dilucuti oleh tentara Belanda, para
prajuritnya yang dahulu bermarkas di Goa Selarong melarikan diri dan tersebar
di berbagai kawasan pulau Jawa. Ada yang ke Semarang, seperti Kiai Umar yang
menurunkan Kiai Sholeh Darat. Ada yang ke Rembang, seperti Mbah Saman bin Yaman
(asal Madura) yang memperjuangkan Islam di daerah Sarang, Rembang. Ada yang ke
daerah Yogyakarta seperti Kiai Hasan Besari yang menurunkan Kiai Munawwir Krapyak.
Ada yang ke Jombang seperti Mbah Shihah atau Kiai Abdussalam (Lasem, Rembang)
yang menurunkan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbbullah. Kedua ulama yang
terakhir ini, nantinya yang akan menjadi tokoh utama dalam berdirinya Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi keislaman terbesar di Indonesia”
Garis Keturunan
Secara genealogis,
KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan ulama yang berjasa dalam menyebarkan
agama Islam di Indonesia, terlebih pulau Jawa. Ayahnya, Kiai Asy’ari masih
keturunan Raden Ainul Yaqin atau Sunan Giri. Sedangkan ibunya masih mempunyai
hubungan darah dengan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang pertama.
Sehingga, dari kedua nasab ini, bias diambil kesimpulan bahwa KH. Hasyim
Asy’ari masih mempunyai jalur keturunan yang bersambung dengan Rosulullah SAW.
Sebelum KH. Hasyim
Asy’ari lahir, tanda-tanda yang menunjukkan kelak dirinya akan menjadi orang
besar dan berpengaruh telah dirasakan oleh ibunya saat mengandung. Nyai Halimah
(Ibu KH. Hasyim Asy’ari) bermimpi melihat rembulan yang jatuh dari langit dan
mengenai kandungannya. Mimpi ini ditafsirkan, kelak bayinya akan menjadi orang
yang berpengaruh.
KH. Hasyim Asy’ari
lahir pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H / 14 Februari 1871 M
di Desa Gedang, Jombang dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Nama
kecilnya adalah Muhammad Hasyim yang kemudian kelak dikenal dengan KH. Hasyim
Asy’ari atau Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Riwayat Pendidikan
KH. Hasyim Asy’ari
pertama kali memperoleh pendidikan ilmu agama dari kedua orang tua dan
kakeknya. Ayah dan kakeknya ini merupakan seorang ulama yang menjadi pengasuh
pesantren. Ayahnya, Kiai Asy’ari mengasuh Pesantren Keras, sedangkan kakeknya,
Kiai Utsman mengasuh Pesantren Gedang. Dari lingkungan yang ala pesantren
inilah pelajaran Islam mudah tertanam pada diri KH. Hasyim Asy’ari dengan baik.
Sejak kecil, KH.
Hasyim Asy’ari sudah menonjol dengan kecerdasannya. Ketika berumur 13 tahun,
beliau sudah pernah disuruh untuk membadali (mengganti) ayahnya dalam mengajar
saat ayahnya berhalangan. Meskipun usia penggajar lebih muda dari pada pihak
yang diajar, namun hal semacam ini bukanlah perkara yang tabu dalam dunia
pesantren karena barometer yang dikenal dalam kamus pesantren adalah kualitas
keilmuan, bukan usia.
Menginjak usia
ke-15, KH. Hasyim Asy’ari melanjutkan studinya ke beberapa pesantren yang
tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Jawa Timur, KH. Hasyim Asy’ari
belajar di Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren
Kademangan (asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan) dan Pesantren Siwalan Panji
Sidoarjo (asuhan Kiai Ya’kub). Sedangkan di Jawa Tengah, KH. Hasyim Asy’ari
pernah nyantri di Pesantren Kiai Sholeh Darat Semarang bersama dengan Muhammad
Darwis (Ahmad Dahlan) yang kelak mendirikan organisasi Muhammadiyah. Selain
itu, beliau juga pernah mengaji kepada Kiai Syu’aib bin Abdurrozak (buyut KH.
Maimun Zubair) di Pesantren Sarang Rembang. (Gus Bahak ; 2002).
Kiai Syu’aib ini
dikenal sebagai ulama sufi yang mempunyai banyak karomah. Di waktu itu, Kiai
Syu’aib sering dijadikan tempat berlabuh dan bertabarruk untuk mencari ilmu
bagi para santri salaf. Biasanya mereka mengaji dengan Kiai Syu’aib ketika di
bulan Ramadhan. Istilah belajar di bulan Ramadhan di suatu pesantren tertentu
sering di sebut dengan “Ngaji Posonan”
Saat menjadi santri,
KH. Hasyim Asy’ari selalu menjunjung tinggi dan menghormati ahlul-‘ilmi wa
ahlihi (kiai dan keluarganya). Sebab, menghormati ulama dan keluarganya
termasuk syarat agar ilmu seseorang bermanfaat dan berkah. Sikap ini tampak
ketika cincin Ibu Nyai Asik, istri Syaikhona Kholil Bangkalan terjatuh ke dalam
tempat yang penuh dengan tinja (kotoran manusia). Saat santri-santri lainnya di
kala itu enggan mengambilkan cincin tersebut karena takut dan merasa jijik dengan
kotoran tersebut, KH. Hasyim Asy’ari tidak menghiraukannya. Tanpa berfikir
panjang, beliau mengambil dan membersihkannya, kemudian memberikannya kepada
Nyai Kholil sehingga istri gurunya tersebut merasa bahagia dan kagum dengan
sikap yang di miliki oleh beliau.
Dari budi pekerti
mulia yang terukir di dalam jiwa KH. Hasyim Asy’ari disertai dengan keilmuan
yang mumpuni, hal ini membuat salah satu
guru beliau menjadi tertarik dengannya dan ingin menjadikannya sebagai
seorang menantu. Kiai Ya’qub, pengasuh Pesantren Siwalan Panji ingin menikahkan
KH. Hasyim Asy’ari dengan putrinya yang bernama Khadijah. Dengan penuh
ketaatan, KH. Hasyim Asy’ari menerima dawuh (titah) Kiai Ya’qub.
Pernikahan bagi KH.
Hasyim Asy’ari tidaklah menyurutkan niatnya untuk melanjutkan menuntut ilmu.
Atas saran mertuanya, KH. Hasyim Asy’ari dan istrinya berencana menunaikan
ibadah haji ke tanah suci sembari belajar di sana kepada ulama-ulama Haramain
(Mekkah dan Madinah). Biaya keberangkatan KH. Hasyim Asy’ari dan istrinya ini
ditanggung oleh mertuanya.
Selama di Haramain,
KH. Hasyim Asy’ari mendapat ujian berat dari Allah SWT. Istri tercintanya
meninggal dunia di tanah suci Makkah setelah melahirkan anak pertamanya yang
bernama Abdullah. Selang sekitar 40 hari kemudian, Abdullah menyusul ibunya.
Kebersamaan KH. Hasyim Asy’ari dengan istrinya selama di Makkah berlangsung
kurang lebih selama tujuh bulan dan beliau pulang ke tanah air setelah itu.
Merasa merasa haus
dengan keilmuan, dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1893, KH. Hasyim
Asy’ari bersama dengan adiknya yang bernama Anis berangkat ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu guna mematangkan pendalaman ilmu
agamanya di tanah suci. Pada kepergian kedua ini, KH. Hasyim Asy’ari juga diuji
Allah SWT dengan ujian yang hamper sama dengan keberangkatan sebelumnya, adik
kandung yang menyertainya bernasib sama dengan istrinya dan meninggal dunia di
sana.
Meskipun ditinggal
wafat oleh adiknya, KH. Hasyim Asy’ari untuk kali ini bertekad ingin lebih lama
belajar di Mekkah dibanding kesempatan sebelumnya disaat istrinya meninggal.
Beliau bermukim di Mekkah untuk menuntut ilmu sekitar tujuh tahun, bahkan ada
yang mengatakan lebih.
Selama di Mekkah,
KH. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam cabang ilmu agama kepada beberapa
ulama yang bermukim di Mekkah. Beliau belajar kepada Syaikh Mahfudz at-Turmusi
(ulama asal Termas, Pacitan, Lamongan Jawa Timur), Syaikh Amin al-Atthar,
Sayyid Sulthan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthar, Syaikh Sayyid
Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad as-Segaf, Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid
Abdullah az-Zawawi, Syaikh Sholeh Bafadhol, Syaikh Sulthan Hasyim
Dagastani dan Syaikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi (ulama asal Minagkabau, Sumatera Barat) dan lain-lain.
Dari sekian banyak
cabang ilmu yang dipelajari oleh KH. Hasyim Asy’ari, ilmu hadits-lah yang
paling menonjol dalam dirinya. Sehingga, kelak Pesantren Tebuireng yang
diasuhnya lebih terkenal dengan kajian hadits karena karakter pengasuhnya yang
ahli hadits. Mengenai ketertarikannya dengan ilmu hadits ini, KH. Hasyim
Asy’ari pernah menulis alasannya di sebuah kertas yang terselip di kitab yang
ada di perpustakaan pribadinya.
KH. Hasyim Asy’ari
mempelajari Hadits Bukhori dan Muslim dari
Syaikh Mahfudz at-Turmusi, seorang pakar Hadits asal Indonesia yang
bermukim di Mekkah. Syaikh Mahfudz at-Turmusi ini merupakan generasi terakhir
dari 23 generasi yang mendapatkan ijazah langsung dari Imam Bukhori. Dari
Syaikh Mahfudz at-Turmusi inilah, beliau kemudian memperoleh ijazah kitab
Shohih Bukhori.
Selain mendalami
ilmu agama, KH. Hasyim Asy’ari juga sering napak tilas (tabarukan) ke berbagai
tempat bersejarah yang pernah didiami oleh Rosulullah SAW. Beliau sering
berkhalwat di Goa Hiro, tempat Rosulullah SAW menerima wahyu pertama. Beliau
juga sering berziarah ke makam Rosulullah SAW.
Menjelang kembali ke
tanah air, KH. Hasyim Asy’ari dan beberapa orang temannya yang berasal dari
berbagai negara beikrar disisi Ka’bah untuk bersungguh-sungguh dalam
memperjuangkan agama Allah SWT. Kisah ini sebagaimana yang pernah dituturkan
oleh Gus Ishom, salah satu cucu beliau, dalam salah satu tulisannya.
Mempelajari Ilmu Tarekat
Selain mempelajari
ilmu syari’at, KH. Hasyim Asy’ari juga mempelajari ilmu tarekat. Bahkan, beliau
pernah mendapatkan ijazah sanad tarekat Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah dari
gurunya, Syaikh Mahfudz at-Turmusi. Syaikh Mahfudz at-Turmusi ini, mendapatkan
ijazah sanad tarekat Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah dari Syaikh Nawawi bin Umar
al-Jawi al-Bantani (ulama asal Banten) dan Syaikh Nawawi memperoleh silsilah
sanad dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas al-Makki (ulama asal Sambas, Kalimantan
Barat). Nama yang terakhir inilah yang telah menggabungkan dua tarekat ini,
yakni tarekat Qodiriyyah dan Naqsyabandiyyah menjadi satu, sehingga dikenal
menjadi Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Meskipun KH. Hasyim
Asy’ari pernah mempelajari ilmu tarekat, namun beliau tidak mengizinkan para
santrinya yang masih dalam tahap mempelajari ilmu syari’at untuk mengamalkan
ilmu tarekat. Hal ini mungkin disebabkan karena beliau tidak suka jika
aktifitas belajar santri-santrinya terganggu dengan alas an mengamalkan
tarekat. Beda halnya jika ada santrinya yang sudah dianggap matang ilmu
syari’atnya, niscaya tidak akan membuat beliau keberatan untuk memberikan izin
kepadanya. Tercatat, ada dua murid KH. Hasyim Asy’ari yang menjadi mursyid
tarekat, yaitu Kiai Adlan Ali dan Kiai Musta’in Romli.
Dalam menanggapi
masalah tarekat, pada tahun 1947, KH. Hasyim Asy’ari pernah menghadiri Muktamar
Tarekat Muktabaroh pertama di Madiun. Beliau tidak memberi penjelasan ketidak
ikut sertaannya dalam kelompok tarekat tertentu. Meskipun demikian, KH. Hasyim
Asy’ari tidak melarang orang lain jika ingin masuk ke dalam sebuah tarekat.
Membina Rumah Tangga
Selama hidupnya, KH.
Hasyim Asy’ari pernah menikah lebih dari sekali. Hal ini menunjukkan kedekatan
beliau dengan para kiai karena istri-istri beliau merupakan keturunan seorang
ulama atau berdarah biru. Di antara istri-istri KH. Hasyim Asy’ari adalah Nyai
Khadijah binti Kiai Ya’qub dari Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Nyai Nafisah
binti Kiai Romli dari Pesantren Kemuning, Nyai Nafiqoh binti Kiai Ilyas dari
Pesantren Sewulan Madiun, Nyai Masruroh binti Kiai Hasan dari Pesantren
Kapurejo Pagu Kediri, dan Nyai Amini binti yang merupakan janda Ma’shum yang tidak
lain adalah adik dari beliau sendiri.
Dari pernikahannya
ini, KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai 14 orang anak. Mereka adalah Andullah,
Hannah, Khoiriyyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid (KH. Wahid Hasyim), Abdul Hafidz
(KH. Abdul Choliq Hasyim), Abdul Karim (Akarhanaf), Ubaidillah, Masruroh, M.
Yusuf (KH. Yusuf Hasyim / Pak Ud), Abdul Qodir, Khodijah (ibu Gus Ishom
Hadziq), dan M. Ya’qub.
KH. Hasyim Asy’ari
juga mempunyai lima orang anak tiri. Empat orang dari Nyai Amini, yaitu
Syarofah, Ali, Nafisah dan Ulyatun. Sedangkan yang satu dari Nyai Masruroh yang merupakan janda dari Syaikh Ihsan
al-Jampes Kediri, pengarang kitab Sirojut-Tholibin, syarah dari Minhajul-Abidin
karya Imam al-Ghozali.
Pesantren Tebuireng
Setelah dirasa cukup
menimba ilmu di Makkah, KH. Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air untuk
mengamalkan dan menyebarkan ilmunya. Kepulangannya ini disambut gembira oleh
Kiai Asy’ari yang mengharapkan nantinya KH. Hasyim Asy’ari akan menjadi
penggantinya untuk mengajar di Pesantren Keras. Akan tetapi, KH. Hasyim Asy’ari
ingin meluaskan cakrawala keilmuannya. Sebab, bangsa ini masih banyak
membutuhkan bimbingan moral. Kalau beliau hanya mengajar di Pesantren Keras
atau Gedang saja, niscaya cita-citanya untuk memperluas penyebaran agama Islam
kurang begitu luas. Dengan penuh kemantapan, KH. Hasyim Asy’ari bertekad ingin
mendirikan pesantren terpisah dari pesantren milik ayah dan kakeknya. Niat KH.
Hasyim Asy’ari ini mendapat dukungan dari keluarga, terlebih ayahnya.
Daerah yang menjadi
incaran KH. Hasyim Asy’ari bukanlah kawasan yang penduduknya bermoral baik.
Beliau lebih suka memilih daerah abangan untuk ‘diputihkan’ dengan syari’at
Islam. Akhirnya, pilihan beliau jatuh pada Tebuireng, Jombang yang berdekatan
dengan Pabrik Gula Cukir serta dekat dengan rel kereta api.
Daerah Tebuireng ini
mulanya penuh dengan gundik, preman dan tukang dadu (judi) serta
pernak-perniknya yang selalu gemar melakukan perbuatan maksiat. Hal ini
disebabkan karena kedekatannya dengan pabrik gula milik Belanda yang turut
meningkatkan perekonomian daerah setempat. Namun, kemajuan itu tentunya bagi
orang-orang yang mau bekerja sama dengan penjajah Belanda. Sedangkan warga
pribumi yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, maka perekonomiannya akan
ditindas. Banyak lahan yang disewa paksa oleh Belanda dengan upah yang tidak
sesuai. Selain itu, moralitas penduduk dicekoki Belanda dengan hiburan-hiburan
yang dapat merusak akhlak sehingga kemaksiatan semakin merajalela dimana-mana.
Pada tahun 1317 H /
1899 M, Pesantren Tebuireng didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan dibekali
santri sebanyak delapan orang yang diperintah oleh Kiai Asy’ari untuk menyertai
putranya. Lambat laun, santri yang asalnya delapan orang ini cepat berkembang
pesat hingga mencapai ratusan orang bahkan sampai ribuan. Semua ini tidak lepas
dari sosok KH. Hasyim Asy’ari yang mempunyai kepribadian yang luhur dan
keilmuan yang tinggi dalam hal agama Islam.
Ketika dipimpin oleh
KH. Hasyim Asy’ari, Pesantren Tebuireng menjadi pesantren yang terkenal di
pulau Jawa sehingga banyak santri-santri yang berdatangan dari berbagai daerah.
Kebanyakan dari mereka kelak akan menjadi ulama besar yang berpengaruh dan
mengibarkan bendera Nahdlatul Ulama yang nantinya didirikan oleh KH. Hasyim
Asy’ari dan para kiai pesantren lainnya. Dari banyaknya santri, Jepang pernah
mendata alumni Pesantren Tebuireng di waktu itu sudah mencapai 25.000 orang dan
rata-rata menjadi ulama besar. Di antaranya adalah KH. Wahab Hasbullah Tambak
Beras, Jombang (Rois ‘Am PBNU pengganti KH. Hasyim Asy’ari), KH. Bisri Syansuri
Denanyar, Jombang (Rois ‘Am PBNU pengganti KH. Wahab Hasbullah), KH. Abdul
Karim (pendiri Pesantren Lirboyo), KH. Ahmad Shiddiq (Rois ‘Am PBNU pengganti
KH. Ali Maksum Krapyak Jogja), dan KH. Ahmad Djazuli Utsman (pendiri PP.
Al-Falah Ploso Kediri).
Murid-murid KH.
Hasyim Asy’ari kebanyakan adalah para santri yang sudah pernah mondok di suatu
pesantren terlebih dahulu. Kedatangan mereka di Pesantren Tebuireng didorong
oleh keinginan kuat dalam mematangkan keilmuan di bidang agama agar lebih
mendalam. Bahkan, ada salah satu santrinya yang bernama KH. Ahmad bin Syu’aib
(kakek KH. Maimoen Zubair) sudah pernah mondok di Mekkah, namun karena masih
haus dengan ilmu agama, akhirnya ia belajar lagi kepada KH. Hasyim Asy’ari di
Pesantren Tebuireng. Kepada KH. Ahmad bin Syu’aib, KH. Hasyim Asy’ari pernah
memberikan beberapa kitab yang sudah ada sah-sahannya (ada makna dan
keterangannya) yang dicatat beliau ketika masih belajar kepada Syaikh Mahhfudz
at-Turmusi.
Dalam mendidik para
santri, KH. Hasyim Asy’ari menggunakan metode ala Pesantren Salaf dengan
memakai standar kitab-kitab yang berliteratur Arab. Metode sorogan, bandongan,
wetonan dan musyawarah diterapkan KH. Hasyim Asy’ari kepada para santrinya. KH.
Hasyim Asy’ari sangat teguh memegang tradisi salaf, namun beliau juga tidak
menolak hal-hal yang baru asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Hal
ini terbukti beliau juga mempunyai koleksi karya Muhammad Abduh yang merupakan
salah satu ulama pembaharu Islam yang pemikirannya banyak berseberangan dengan
ajaran Ahlusunah wal Jamaah ala Nahdlatul Ulama.
Di Pesantrennyaa,
KH. Hasyim Asy’ari lebih menekankan pelajaran kitab-kitab salaf, baik kitab
matan maupun syarahnya, seperti kitab matan Taqrib, Fathul Qorib al-Mujib dan
Kitab Fathul Mu’in. Untuk kitab Taqrib atau kitab Fathul Qorib al-Mujib, KH.
Hasyim Asy’ari selalu mengulang-ulang jika sudah dikhatamkan. Tradisi seperti
ini banyak diikuti oleh santri-santrinya, salah satunya adalah Kiai Ahmad bin
Syu’aib yang menjadi pengasuh Pesantren Sarang Rembang.
Selain menggunakan
metode salaf, KH. Hasyim Asy’ari juga menggunakan manhaj kekinian seperti
memasukkan metode klasikal yang berasal dari usul menantunya, KH. Ma’shum Ali.
Sehingga berdirilah Madrasah Salafiyah yang terdiri dari enam kelas. Selain
Madrasah Salafiyah, di Pesantren Tebuireng juga ada Madrasah Nidzamiyah yang
diusulkan oleh KH. Wahid Hasyim. Madrasah Nidzamiyah ini selain mengajarkan
pelajaran agama Islam, juga mengajarkan pelajaran umum seperti bahasa Belanda,
Geografi dan Ilmu Menghitung. Namun, Madrasah Nidzamiyah ini tidak berumur
panjang karena KH. Hasyim Asy’ari kurang begitu berkenan. Akhhirnya,
murid-murid yang ada di Madrasah Nidzamiyah digabungkan ke dalam Madrasah
Salafiyah.