Pondok » , , » Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari (2)

Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari (2)

Nahdlatul Ulama
Lanjutan dari bag. ke-1

Metode Dakwah

Dalam mengajak umat manusia menuju jalan yang diridhai Allah SWT, KH. Hasyim Asy’ari menggunakan metode dakwah yang diajarkan oleh Rosulullah SAW dan termaktub dalam kitab suci al-Qur’an (QS. An-Nahl : 125). Pertama, dengan jalan bil Hikmah, artinya berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempatnya serta tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Kedua, dengan metode Mau’idhatul Hasanah, yakni melalui ungkapan-ungkapan yang mengandung bimbingan, pengasuhan, pendidikan dan keteladanan, sehingga pesan-pesan yang disampaikan bias digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan. Ketiga, dengan jalan al-Mujadalah billati Hiya Ahsan, yakni; dilakukan dengan dialog dan diskusi yang argumentatif dan penuh dengan kesopanan, serta disesuaikan dengan kadar tingkatan pemahaman obyek dakwah yang dihadapi. (Khoirul Huda Basyir ; 2008).

Selain berdakwah didalam Pesantren, KH. Hasyim Asy’ari juga berdakwah diluar pesantren seperti keaktifannya di sebuah organisasi, misalnya keaktifan beliau dalam organisasi Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedangan) yang didirikan pada tahun 1918. Atau beliau juga berinteraksi langsung dengan masyarakat. Salah satu preman yang diinsyafkan dengan sifat arif dan kedermawanan KH. Hasyim Asy’ari melalui dakwahnya adalah Marto Lemu.

KH. Hasyim Asy’ari merupakan sosok ulama yang dermawan. Saking dermawannya, jika ada santri yang sakit dan diketahuinya, maka beliau akan membiayai semua pengobatannya hingga sembuh tanpa meminta ganti rugi sepeserpun.

KH. Hasyim Asy’ari sangat arif dalam menghadapi suatu permasalahan. Beliau tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, namun beliau juga tidak tinggal diam jika kezaliman merajalela. Kedua konsep ini diamalkan KH. Hasyim Asy’ari sesuai dengan proporsinya.
Ketika Pesantren Tebuireng menghadapi tantangan dari orang-orang jahat yang tidak suka dengan keberadaan dakwah yang sedang dikembangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, beliau tidak tinggal diam. Sebab, santri-santri beliau sering terkena teror. Bahkan pesantrennya pernah didatangi oleh preman sambil membawa senjata. Sehingga, kejadian ini menjadi sebuah tantangan tersendiri yang harus segera diambil solusinya.

Akhirnya untuk mengatasi problem ini, KH. Hasyim Asy’ari menyuruh beberapa santrinya untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat guna menemui para kiai yang ahli pencak silat agar berkenan mengajari ilmu beladiri kepada santri Tebuireng untuk menghadapi tantangan preman dan penjahat yang mengganggu kesinambungan dakwah KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Kiai-kiai yang diundang ke Pesantren Tebuireng adalah Kiai Sholeh Benda, Kiai Abdullah Pangulangan, Kiai Syamsuri Wanalala dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Setelah murid-murid KH. Hasyim Asy’ari sudah bisa ilmu bela diri, teror yang dilancarkan oleh para penjahat dan preman Tebuireng bisa diminimalisir.

Meslipun teror telah mampu diminimalisir, namun upaya untuk menghentikan dakwah KH. Hasyim Asy’ari tidak berhenti sampai disitu. Mereka membuat cara lain dengan melempar fitnah yang disusupkan di Pesantren Tebuireng. Dari fitnah ini, pemerintah Belanda mendatangi KH. Hasyim Asy’ari dan memberikan konsekuensi yang memojokkan beliau dan santri-santrinya. Dampak dari fitnah ini menyebabakan Pesantren Tebuireng dibakar para preman yang tergabung dari beberapa daerah dan mendapat dukungan dari pemerintah Belanda. Namun dengan penuh kesabaran, KH. Hasyim Asy’ari tidak membalas kejahatan itu dengan kejahatan pula. Akhirnya, Pesantren Tebuireng dibangun kembali oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan para santrinya.

Dalam mengahadapi orang diluar Islam, KH. Hasyim Asy’ari berdiskusi dengan baik dan santun jika mereka mengajak berdiskusi. Beliau pernah berdiskusi dengan Karl von Smith, seorang berkebangsaan Jerman yang bekerja untuk kepentingan pemerintah Belanda. Setelah banyak berdiskusi dengan KH. Hasyim Asy’ari, Karl von Smith ini argumennya terkalahkan. Akhirnya, Karl von Smith memeluk agama Islam atas jasa KH. Hasyim Asy’ari.

Fiqhu ad-Dakwah (guidance and counseling) atau Fiqih Sosial selalu ditanamkan KH. Hasyim Asy’ari untuk menghadapi subyek yang masuk kategori umat dakwah. Pernah suatu ketika, KH. Hasyim Asy’ari menerima tamu orang Belanda, yaitu Ch. O. Van der Plas yang membawa anjing di Pesantren Tebuireng. Namun, karena Fiqih Sosialnya yang tinggi, KH. Hasyim Asy’ari tidak melarangnya.

Rois Akbar Nahdlatul Ulama’

Sebelum Nahdlatul Ulama lahir, terlebih dahulu ada beberapa  organisasi atau sebuah perkumpulan yang menjadi cikal bakalnya. Seperti lahirnya Taswirul Afkar (Potret Pemikiran) yang didirikan pada tahun 1914, Nahdlatut Wathon (Kebangkitan Tanah Air) yang didirikan pada tahun 1916, dan Komite Hijaz (1925). Perkumpulan-perkumpulan ini tidak bisa lepas dari idenya KH. Wahab Hasbullah yang dikenal sebagai penggerak lahirnya Nahdlatul Ulama.

Ketika KH. Wahab Hasbullah mengungkapkan keinginannya kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan sebuah organisasi keagamaan, KH. Hasyim Asy’ari tidak langsung mengiyakan. Akan tetapi, KH. Hasyim Asy’ari berfikir dengan sedalam-dalamnya karena beliau takut akan memecah belah umat Islam yang ada di Indonesia. Sebab di waktu itu, di Indonesia sudah ada organisasi keislaman seperti SI (Sarekat Islam) yang didirikan oleh HOS. Cokroaminoto, al-Irsyad yang didirikan oleh Ahmad Surkati dan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Selain organisasi keagamaan ini, juga sudah ada organisasi “Budi Utomo”. Kebanyakan orang yang berada di dalam tubuh Budi Utomo adalah beragama Islam, namun arus pemikirannya bersifat nasionalis (priyayi).

KH. Wahab Hasbullah terus meyakinkan kepada KH. Hasyim Asy’ari akan pentingnya sebuah organisasi keagamaan yang nantinya akan dikendarai oleh kiai-kiai pesantren yang notabene mengamalkan Islam dengan menganut salah satu madzhab empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Pasalnya, organisasi milik Islam Modernis seperti SI, Muhammadiyah dan al-Irsyad itu kebanyakan menyuarakan agar umat Islam tidak bertaklid kepada salah satu madzhab empat. Mereka juga sering mengkritik sebagian amalan yang dikerjakan oleh kelompok Islam Tradisionalis.

Pada tahun 1922 M telah terjadi diskusi ilmiah antara tokoh Islam Modernis dan tokoh Islam Tradisionalis yang tergabung di dalam Kongres al-Islam yang di adakan di Cirebon, Jawa Barat dengan pimpinan HOS. Cokroaminoto yang dibantu oleh H. Agus Salim. Perdebatan ini berlangsung dari tanggal 31 Oktober hingga 2 November 1922 M. Kelompok Islam Modernis diwakili oleh organisasi Muhammadiyah dan al-Irsyad dengan juru bicaranya KH. Ahmad Dahlan dan Syekh Ahmad Surkati. Sedangkan untuk kelompok Islam Tradisionalis diwakili oleh klan pesantren dengan juru bicaranya KH. Wahab Hasbullah dan KH. Raden Asnawi Kudus. Islam modernis menuduh Islam Tradisionalis sebagai biang keladi atas kemunduran Islam sebab mengamalkan Islam dengan memakai metode madzhab tertentu. Sedangkan kelompok Islam Tradisionalis menuding kelompok Islam Modernis ingin membuat madzhab baru dengan menafsirkan al-Qur’an dengan semau mereka sendiri. Diskusi ini berlangsung dengan sengit dan tidak bias menyatukan kedua kubu.

Meskipun Islam Tradisionalis sering dipojokkan oleh Islam Modernis yang sudah mempunyai jam’iyyah yang matang dan terorganisir, namun KH. Hasyim Asy’ari masih belum mau tergesa-gesa dalam menentukan keputusannya untuk mendirikan sebuah organisasi keagamaan. Beliau selalu meminta petunjuk kepada Allah SWT agar diberikan jalan yang terbaik atas semua ini. Shalat Istikharah selalu dikerjakannya agar Allah SWT menurunkan petunjuk-Nya untuk menghilangkan masalah rumit yang menerpanya.

Keresahan yang dihadapi oleh KH. Hasyim Asy’ari telah dirasakan oleh gurunya, Syaikhona Kholil Bangkalan yang terkenal dengan kewaskitaannya. Syaikhona Kholil tidak tinggal diam atas masalah yang menerpa santri-santrinya, terlebih KH. Hasyim Asy’ari. Akhirnya, Syaikhona Kholil menyuruh salah satu santrinya yang bernama KH. As'ad Syamsul Arifin untuk mengantarkan tongkat dan membacakan surat Thoha ayat 17-23 kepada KH. Hasyim Asy’ari sebagai isyarat bahwa beliau meridhai keinginan KH. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan sebuah organisasi keagamaan. Dalam al-Qur’an surat Thoha Allah SWT berfirman, yang artinya kurang lebih demikian:

Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkatalah Musa: “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya,” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.” Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.” (QS. Thoha : 17-23).

Meskipun sudah mendapatkan petunjuk lewat Syaikhona Kholil Bangkalan berupa tongkat dan bacaan surat Thoha ayat 17-23, KH. Hasyim Asy’ari tak kunjung mendirikan organisasi yang diusulkan oleh KH. Wahab Hasbullah. KH. Hasyim Asy’ari sudah menagkap isyarat lampu hijau bahwa jam’iyyah yang hendak didirikan itu telah mendapat restu dari gurunya. Berkat petunjuk Allah SWT lewat perantara Syaikhona Kholil, beliau dan para kiai lain, terlebih KH. Wahab Hasbullah semakin mantap dan konsepnya pun semakin dimatangkan oleh KH. Wahab Hasbullah selaku  motor organisasi. Akan tetapi, dalam masalah ini, KH. Hasyim Asy’ari masih belum berani mengetuk palu untuk mengiyakan sepenuhnya. Beliau sangat berhati-hati dalam memutuskan suatu perkara. Terlebih hal ini ada kaitannya dengan persatuan umat Islam. Beliau selalu mengerjakan sholat Istikharoh agar diberikan petunjuk yang terbaik dari Allah SWT.

Karena KH. Hasyim Asy’ari tidak segera merespon makna sepenuhnya dari pesan yang diberikan oleh Syaikhona Kholil, akhirnya Syaikhona Kholil menyuruh kembali KH. As’ad Syamsul Arifin untuk mengantarkan pesan kedua yang mengandung isyarat keridhaannya kepada KH. Hasyim Asy’ari dalam mendirikan organisasi keagamaan sebagaimana isyarat yang pertama. Pesan itu berupa tasbih dan perintah agar KH. Hasyim Asy’ari mengamalkan asma’ ya Qohhar dan ya Jabbar. Kedua Asma Allah ini memiliki arti hampir sama. Qohhar berarti Maha Memaksa (kehendak-Nya pasti terjadi, tidak bias dihalang-halangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, akan tetapi sebagian ada orang yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa  dihalangi / dikalahkan oleh siapapun).

Dengan adanya isyarat kedua dari gurunya, KH. Hasyim Asy’ari menjadi semakin mantap untuk mendirikan organisasi keagamaan yang diusulkan oleh KH. Wahab Hasbullah. Namun, KH. Hasyim Asy’ari masih sangat berhati-hati dan semakin mematangkan konsepnya. Hingga akhirnya Syaikhona Kholil wafat pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M), organisasi keagamaan ini belum kunjung didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari.

Sebelum tahun wafatnya Syaikhona Kholil, tepatnya pada tahun 1924 telah terjadi peristiwa yang menggemparkan umat Islam di belahan dunia. Yaitu, peristiwa jatuhnya Syarief Husein yang digulingkan oleh Abdul Aziz bin Sa’ud yang merupakan pengikut aliran Wahhabi yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Dengan jatuhnya Syarief Husein, hal ini membuat kekhawatiran bagi umat Islam yang beraliran Sunni. Sebab, kaum Wahhabi ini sangat anti madzhab dan gencar memberantas system bermadzhab. Wahhabi berbeda dengan Sunni yang menyuruh umat Islam untuk mengikuti salah satu madzhab empat dengan alasan supaya didalam memahami hukum Islam tidak terjadi kesalahan yang fatal.
Disamping itu, keresahan umat Islam yang beraliran Sunni juga semakin bertambah dengan jatuhnya Hijaz ke tangan Wahhabi. Pasalnya dengan dalih ingin mengembalikan umat Islam kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka sangat bernafsu menghilangkan tawassul, tabarruk, maulid dan lain sebagainya. Bahkan, ada wacana kalau amalan-amalan ini nantinya akan dilarang di tanah Hijaz yang menjadi kekuasaan Raja Ibnu Sa’ud.

Untuk melebarkan sayap pengaruhnya hingga ke negara-negara muslim lainnya, pada Juni 1926, Ibnu Sa’ud berencana menyelenggarakan Muktamar Khilafah sedunia yang bertempat di kota suci Mekkah yang bertujuan sebagai penerus khilafah yang terputus. Negara Indonesia termasuk salah satu negara yang mendapat kehormatan untuk menghadirinya.

Utusan resmi dari Negara Indonesia yang akan dikirim untuk menghadiri Muktamar Khilafah di kota suci Mekkah adalah HOS. Cokroaminoto (Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Kedua tokoh ini akan disertai oleh H. Abdul Karim Amrullah (utusan dari Persatuan Guru Agama Islam), H. Abdullah Ahmad (pendiri Sekolah Adabiyah dari Sumatera Barat) dan H. M. Soeja’. Semua anggota ini berangkat atas nama organisasi CCC (Central Comite Chilafah) yang anggotanya terdiri dari beberapa organisasi resmi.

Mulanya, KH. Wahab Hasbullah ikut daftar yang akan mewakili pesantren, namun akhirnya namanya dicoret karena alasan tidak mewakili organisasi resmi. Kejadian ini menjadi pukulan berat bagi golongan Islam Tradisionalis. Akhirnya, atas restu KH. Hasyim Asy’ari dibentuklah Komite Hijaz sebelum bulan Januari 1926.

Bersambung ke bagian 3.

Dikutip dari buku The Founding Father's Of Nahdlatoel Oelama'



0 komentar:

Posting Komentar