Lanjutan dari
bag. ke-1
Metode
Dakwah
Dalam mengajak umat
manusia menuju jalan yang diridhai Allah SWT, KH. Hasyim Asy’ari menggunakan
metode dakwah yang diajarkan oleh Rosulullah SAW dan termaktub dalam kitab suci
al-Qur’an (QS. An-Nahl : 125). Pertama, dengan jalan bil Hikmah, artinya
berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai dengan perkembangan
zaman dan tempatnya serta tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Kedua,
dengan metode Mau’idhatul Hasanah, yakni melalui ungkapan-ungkapan yang
mengandung bimbingan, pengasuhan, pendidikan dan keteladanan, sehingga
pesan-pesan yang disampaikan bias digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan.
Ketiga, dengan jalan al-Mujadalah billati Hiya Ahsan, yakni; dilakukan dengan
dialog dan diskusi yang argumentatif dan penuh dengan kesopanan, serta
disesuaikan dengan kadar tingkatan pemahaman obyek dakwah yang dihadapi.
(Khoirul Huda Basyir ; 2008).
Selain berdakwah
didalam Pesantren, KH. Hasyim Asy’ari juga berdakwah diluar pesantren seperti
keaktifannya di sebuah organisasi, misalnya keaktifan beliau dalam organisasi
Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedangan) yang didirikan pada tahun 1918.
Atau beliau juga berinteraksi langsung dengan masyarakat. Salah satu preman
yang diinsyafkan dengan sifat arif dan kedermawanan KH. Hasyim Asy’ari melalui
dakwahnya adalah Marto Lemu.
KH. Hasyim Asy’ari
merupakan sosok ulama yang dermawan. Saking dermawannya, jika ada santri yang
sakit dan diketahuinya, maka beliau akan membiayai semua pengobatannya hingga
sembuh tanpa meminta ganti rugi sepeserpun.
KH. Hasyim Asy’ari
sangat arif dalam menghadapi suatu permasalahan. Beliau tidak membalas
kejahatan dengan kejahatan, namun beliau juga tidak tinggal diam jika kezaliman
merajalela. Kedua konsep ini diamalkan KH. Hasyim Asy’ari sesuai dengan
proporsinya.
Ketika Pesantren
Tebuireng menghadapi tantangan dari orang-orang jahat yang tidak suka dengan
keberadaan dakwah yang sedang dikembangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, beliau
tidak tinggal diam. Sebab, santri-santri beliau sering terkena teror. Bahkan
pesantrennya pernah didatangi oleh preman sambil membawa senjata. Sehingga,
kejadian ini menjadi sebuah tantangan tersendiri yang harus segera diambil
solusinya.
Akhirnya untuk
mengatasi problem ini, KH. Hasyim Asy’ari menyuruh beberapa santrinya untuk
pergi ke Cirebon, Jawa Barat guna menemui para kiai yang ahli pencak silat agar
berkenan mengajari ilmu beladiri kepada santri Tebuireng untuk menghadapi
tantangan preman dan penjahat yang mengganggu kesinambungan dakwah KH. Hasyim
Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Kiai-kiai yang diundang ke Pesantren Tebuireng
adalah Kiai Sholeh Benda, Kiai Abdullah Pangulangan, Kiai Syamsuri Wanalala dan
Kiai Abdul Jamil Buntet. Setelah murid-murid KH. Hasyim Asy’ari sudah bisa ilmu
bela diri, teror yang dilancarkan oleh para penjahat dan preman Tebuireng bisa diminimalisir.
Meslipun teror telah
mampu diminimalisir, namun upaya untuk menghentikan dakwah KH. Hasyim Asy’ari
tidak berhenti sampai disitu. Mereka membuat cara lain dengan melempar fitnah
yang disusupkan di Pesantren Tebuireng. Dari fitnah ini, pemerintah Belanda
mendatangi KH. Hasyim Asy’ari dan memberikan konsekuensi yang memojokkan beliau
dan santri-santrinya. Dampak dari fitnah ini menyebabakan Pesantren Tebuireng
dibakar para preman yang tergabung dari beberapa daerah dan mendapat dukungan
dari pemerintah Belanda. Namun dengan penuh kesabaran, KH. Hasyim Asy’ari tidak
membalas kejahatan itu dengan kejahatan pula. Akhirnya, Pesantren Tebuireng
dibangun kembali oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan para santrinya.
Dalam mengahadapi
orang diluar Islam, KH. Hasyim Asy’ari berdiskusi dengan baik dan santun jika
mereka mengajak berdiskusi. Beliau pernah berdiskusi dengan Karl von Smith,
seorang berkebangsaan Jerman yang bekerja untuk kepentingan pemerintah Belanda.
Setelah banyak berdiskusi dengan KH. Hasyim Asy’ari, Karl von Smith ini
argumennya terkalahkan. Akhirnya, Karl von Smith memeluk agama Islam atas jasa
KH. Hasyim Asy’ari.
Fiqhu ad-Dakwah
(guidance and counseling) atau Fiqih Sosial selalu ditanamkan KH. Hasyim
Asy’ari untuk menghadapi subyek yang masuk kategori umat dakwah. Pernah suatu
ketika, KH. Hasyim Asy’ari menerima tamu orang Belanda, yaitu Ch. O. Van der
Plas yang membawa anjing di Pesantren Tebuireng. Namun, karena Fiqih Sosialnya
yang tinggi, KH. Hasyim Asy’ari tidak melarangnya.
Rois Akbar Nahdlatul Ulama’
Sebelum Nahdlatul
Ulama lahir, terlebih dahulu ada beberapa
organisasi atau sebuah perkumpulan yang menjadi cikal bakalnya. Seperti
lahirnya Taswirul Afkar (Potret Pemikiran) yang didirikan pada tahun 1914,
Nahdlatut Wathon (Kebangkitan Tanah Air) yang didirikan pada tahun 1916, dan
Komite Hijaz (1925). Perkumpulan-perkumpulan ini tidak bisa lepas dari idenya
KH. Wahab Hasbullah yang dikenal sebagai penggerak lahirnya Nahdlatul Ulama.
Ketika KH. Wahab
Hasbullah mengungkapkan keinginannya kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan
sebuah organisasi keagamaan, KH. Hasyim Asy’ari tidak langsung mengiyakan. Akan
tetapi, KH. Hasyim Asy’ari berfikir dengan sedalam-dalamnya karena beliau takut
akan memecah belah umat Islam yang ada di Indonesia. Sebab di waktu itu, di
Indonesia sudah ada organisasi keislaman seperti SI (Sarekat Islam) yang
didirikan oleh HOS. Cokroaminoto, al-Irsyad yang didirikan oleh Ahmad Surkati
dan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Selain organisasi
keagamaan ini, juga sudah ada organisasi “Budi Utomo”. Kebanyakan orang yang
berada di dalam tubuh Budi Utomo adalah beragama Islam, namun arus pemikirannya
bersifat nasionalis (priyayi).
KH. Wahab Hasbullah
terus meyakinkan kepada KH. Hasyim Asy’ari akan pentingnya sebuah organisasi
keagamaan yang nantinya akan dikendarai oleh kiai-kiai pesantren yang notabene
mengamalkan Islam dengan menganut salah satu madzhab empat, yaitu Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Pasalnya, organisasi milik
Islam Modernis seperti SI, Muhammadiyah dan al-Irsyad itu kebanyakan
menyuarakan agar umat Islam tidak bertaklid kepada salah satu madzhab empat.
Mereka juga sering mengkritik sebagian amalan yang dikerjakan oleh kelompok
Islam Tradisionalis.
Pada tahun 1922 M
telah terjadi diskusi ilmiah antara tokoh Islam Modernis dan tokoh Islam
Tradisionalis yang tergabung di dalam Kongres al-Islam yang di adakan di
Cirebon, Jawa Barat dengan pimpinan HOS. Cokroaminoto yang dibantu oleh H. Agus
Salim. Perdebatan ini berlangsung dari tanggal 31 Oktober hingga 2 November
1922 M. Kelompok Islam Modernis diwakili oleh organisasi Muhammadiyah dan
al-Irsyad dengan juru bicaranya KH. Ahmad Dahlan dan Syekh Ahmad Surkati.
Sedangkan untuk kelompok Islam Tradisionalis diwakili oleh klan pesantren
dengan juru bicaranya KH. Wahab Hasbullah dan KH. Raden Asnawi Kudus. Islam
modernis menuduh Islam Tradisionalis sebagai biang keladi atas kemunduran Islam
sebab mengamalkan Islam dengan memakai metode madzhab tertentu. Sedangkan
kelompok Islam Tradisionalis menuding kelompok Islam Modernis ingin membuat
madzhab baru dengan menafsirkan al-Qur’an dengan semau mereka sendiri. Diskusi
ini berlangsung dengan sengit dan tidak bias menyatukan kedua kubu.
Meskipun Islam
Tradisionalis sering dipojokkan oleh Islam Modernis yang sudah mempunyai
jam’iyyah yang matang dan terorganisir, namun KH. Hasyim Asy’ari masih belum
mau tergesa-gesa dalam menentukan keputusannya untuk mendirikan sebuah
organisasi keagamaan. Beliau selalu meminta petunjuk kepada Allah SWT agar
diberikan jalan yang terbaik atas semua ini. Shalat Istikharah selalu
dikerjakannya agar Allah SWT menurunkan petunjuk-Nya untuk menghilangkan
masalah rumit yang menerpanya.
Keresahan yang
dihadapi oleh KH. Hasyim Asy’ari telah dirasakan oleh gurunya, Syaikhona Kholil
Bangkalan yang terkenal dengan kewaskitaannya. Syaikhona Kholil tidak tinggal
diam atas masalah yang menerpa santri-santrinya, terlebih KH. Hasyim Asy’ari.
Akhirnya, Syaikhona Kholil menyuruh salah satu santrinya yang bernama KH. As'ad Syamsul Arifin untuk mengantarkan tongkat dan membacakan surat Thoha ayat 17-23
kepada KH. Hasyim Asy’ari sebagai isyarat bahwa beliau meridhai keinginan KH.
Hasyim Asy’ari untuk mendirikan sebuah organisasi keagamaan. Dalam al-Qur’an
surat Thoha Allah SWT berfirman, yang artinya kurang lebih demikian:
“Apakah itu yang di
tangan kananmu, hai Musa? Berkatalah Musa: “Ini adalah tongkatku, aku
bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku
ada lagi keperluan yang lain padanya,” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai
Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular
yang merayap dengan cepat.” Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut,
Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke
ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai
mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari
tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.” (QS. Thoha : 17-23).
Meskipun sudah
mendapatkan petunjuk lewat Syaikhona Kholil Bangkalan berupa tongkat dan bacaan
surat Thoha ayat 17-23, KH. Hasyim Asy’ari tak kunjung mendirikan organisasi
yang diusulkan oleh KH. Wahab Hasbullah. KH. Hasyim Asy’ari sudah menagkap
isyarat lampu hijau bahwa jam’iyyah yang hendak didirikan itu telah mendapat
restu dari gurunya. Berkat petunjuk Allah SWT lewat perantara Syaikhona Kholil,
beliau dan para kiai lain, terlebih KH. Wahab Hasbullah semakin mantap dan
konsepnya pun semakin dimatangkan oleh KH. Wahab Hasbullah selaku motor organisasi. Akan tetapi, dalam masalah
ini, KH. Hasyim Asy’ari masih belum berani mengetuk palu untuk mengiyakan
sepenuhnya. Beliau sangat berhati-hati dalam memutuskan suatu perkara. Terlebih
hal ini ada kaitannya dengan persatuan umat Islam. Beliau selalu mengerjakan
sholat Istikharoh agar diberikan petunjuk yang terbaik dari Allah SWT.
Karena KH. Hasyim
Asy’ari tidak segera merespon makna sepenuhnya dari pesan yang diberikan oleh
Syaikhona Kholil, akhirnya Syaikhona Kholil menyuruh kembali KH. As’ad Syamsul
Arifin untuk mengantarkan pesan kedua yang mengandung isyarat keridhaannya
kepada KH. Hasyim Asy’ari dalam mendirikan organisasi keagamaan sebagaimana
isyarat yang pertama. Pesan itu berupa tasbih dan perintah agar KH. Hasyim
Asy’ari mengamalkan asma’ ya Qohhar dan ya Jabbar. Kedua Asma Allah ini
memiliki arti hampir sama. Qohhar berarti Maha Memaksa (kehendak-Nya pasti
terjadi, tidak bias dihalang-halangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih
memiliki arti yang sama, akan tetapi sebagian ada orang yang mengartikan Jabbar
dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi / dikalahkan oleh siapapun).
Dengan adanya
isyarat kedua dari gurunya, KH. Hasyim Asy’ari menjadi semakin mantap untuk
mendirikan organisasi keagamaan yang diusulkan oleh KH. Wahab Hasbullah. Namun,
KH. Hasyim Asy’ari masih sangat berhati-hati dan semakin mematangkan konsepnya.
Hingga akhirnya Syaikhona Kholil wafat pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M), organisasi
keagamaan ini belum kunjung didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Sebelum tahun
wafatnya Syaikhona Kholil, tepatnya pada tahun 1924 telah terjadi peristiwa
yang menggemparkan umat Islam di belahan dunia. Yaitu, peristiwa jatuhnya
Syarief Husein yang digulingkan oleh Abdul Aziz bin Sa’ud yang merupakan
pengikut aliran Wahhabi yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Dengan jatuhnya
Syarief Husein, hal ini membuat kekhawatiran bagi umat Islam yang beraliran
Sunni. Sebab, kaum Wahhabi ini sangat anti madzhab dan gencar memberantas
system bermadzhab. Wahhabi berbeda dengan Sunni yang menyuruh umat Islam untuk
mengikuti salah satu madzhab empat dengan alasan supaya didalam memahami hukum
Islam tidak terjadi kesalahan yang fatal.
Disamping itu,
keresahan umat Islam yang beraliran Sunni juga semakin bertambah dengan
jatuhnya Hijaz ke tangan Wahhabi. Pasalnya dengan dalih ingin mengembalikan
umat Islam kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka sangat bernafsu menghilangkan
tawassul, tabarruk, maulid dan lain sebagainya. Bahkan, ada wacana kalau
amalan-amalan ini nantinya akan dilarang di tanah Hijaz yang menjadi kekuasaan
Raja Ibnu Sa’ud.
Untuk melebarkan
sayap pengaruhnya hingga ke negara-negara muslim lainnya, pada Juni 1926, Ibnu
Sa’ud berencana menyelenggarakan Muktamar Khilafah sedunia yang bertempat di
kota suci Mekkah yang bertujuan sebagai penerus khilafah yang terputus. Negara
Indonesia termasuk salah satu negara yang mendapat kehormatan untuk
menghadirinya.
Utusan resmi dari
Negara Indonesia yang akan dikirim untuk menghadiri Muktamar Khilafah di kota
suci Mekkah adalah HOS. Cokroaminoto (Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur
(Muhammadiyah). Kedua tokoh ini akan disertai oleh H. Abdul Karim Amrullah
(utusan dari Persatuan Guru Agama Islam), H. Abdullah Ahmad (pendiri Sekolah
Adabiyah dari Sumatera Barat) dan H. M. Soeja’. Semua anggota ini berangkat
atas nama organisasi CCC (Central Comite Chilafah) yang anggotanya terdiri dari
beberapa organisasi resmi.
Mulanya, KH. Wahab
Hasbullah ikut daftar yang akan mewakili pesantren, namun akhirnya namanya
dicoret karena alasan tidak mewakili organisasi resmi. Kejadian ini menjadi
pukulan berat bagi golongan Islam Tradisionalis. Akhirnya, atas restu KH.
Hasyim Asy’ari dibentuklah Komite Hijaz sebelum bulan Januari 1926.